Senin, 10 November 2008

SIAPAKAH PAHLAWAN ITU?


Setiap 10 November bangsa ini selalu diperingati Hari Pahlawan. Pada masa lalu, pahlawan identik dengan perang fisik. Itu sesuai zamannya. Kini, pahlawan tidak mesti mengangkat senjata. Tapi siapapun yang berkorban untuk orang lain, bangsa dan negara, tanpa senjata adalah pahlawan. Berikut laporan khusus SH berkaitan dengan pahlawan. Selamat mengikuti!

Laki-laki itu mengenakan topi berwarna loreng dan kaca mata hitam. Di tangannya tergenggam tongkat komando berwarna hitam dan di belakangnya berkerumun banyak orang.
Ia adalah Soeharto. Mantan Panglima Komando Strategis Angkatan Darat (Pangkostrad) itu sedang mengawasi jalannya evakuasi jenasah para jenderal AD yang terbunuh dalam peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Sepanjang sejarah yang diciptakan Orde Baru (Orba) disebutkan peristiwa itu didalangi Partai Komunis Indonesia (PKI). Partai itu hingga kini dinyatakan sebagai partai terlarang.
Gambaran itu muncul dalam bentuk film yang diputar berulang-ulang sepanjang ia berkuasa, menduduki kursi kepresidenan selama 32 tahun.
Film itu bahkan wajib ditonton. Pemutarannya bisa dilakukan di sekolah-sekolah hingga balai desa. Seminggu sebelum acara nonton bersama, rakyat desa sudah diminta untuk membeli tiketnya yang disalurkan oleh para perangkat desa.
Seiring dengan lahirnya era reformasi yang menjatuhkan Soeharto dari kekuasaanya pada 1998, film tersebut pelan-pelan menghilang dan tak lagi menjadi sebuah tontonan yang wajib tonton. Bahkan sejarah tentang peristiwa itu digugat kembali.
Di kalangan sejarawanpun juga banyak yang melakukan pengkajian karena peristiwa itu masih dipenuhi kabut misteri.
Namun, saat sang penguasa itu tutup usia, pada suatu siang di hari minggu, awal tahun ini, media massa elektronik kembali menampilkan peristiwa itu berulang-ulang. Disertai dengan latar belakang lagu berjudul Gugur Bunga karangan Ismail Marzuki, media massa mulai mengarahkan opini supaya mantan orang nomor satu itu diberi gelar pahlawan nasional. Seribu macam argumen diikutsertakan untuk mendukung upaya tersebut dari Soeharto terkenal mempertahankan Yogyakarta dalam Peristiwa Serangan Umum Satu Maret, merebut Irian Barat, sampai menjadi bapak pembangunan.
Kenyataan ini pun semakin menjadi-jadi ketika Partai Golongan Karya (Golkar) mengajukan kepada pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono supaya Soeharto diberi gelar pahlawan nasional. Tindakan ini dilakukan setelah partai berlambang pohon beringin tersebut gagal untuk menghapus tindak pidana korupsi Soeharto sebelum ajal menjemputnya.
Sebenarnya apa yang menjadi kriteria Pahlawan Nasional? Pemerintah melalui Departemen Sosial menyebutkan, Pahlawan Nasional merupakan gelar yang diberikan oleh Pemerintah Republik Indonesia kepada seorang warga bangsa/warga negara Indonesia yang semasa hidupnya melakukan tindak kepahlawanan dan berjasa sangat luar biasa bagi kepentingan bangsa dan negara.

Pengorbanan
Tindak Kepahlawanan merupakan perbuatan yang dilakukan secara sadar dan mengandung risiko bahkan mengorbankan jiwa dan raga dalam perjuangan mencapai cita-cita luhur bangsa, yakni kemerdekaan dan kedaulatan menuju masyarakat adil dan makmur, baik melalui perjuangan bersenjata/fisik, maupun perjuangan nonfisik, antara lain di bidang politik, ekonomi, sosial, dan budaya.
Adapun syaratnya, antara lain, Warga Negara Indonesia yang telah meninggal dunia dan semasa hidupnya telah memimpin dan melakukan perjuangan bersenjata atau perjuangan politik merebut dan mempertahankan. Iia juga mengisi kemerdekaan serta mewujudkan persatuan dan kesatuan bangsa. Selain itu, ia juga telah melahirkan gagasan atau pemikiran besar yang dapat menunjang pembangunan bangsa dan negara.
Sepertinya sampai kapanpun, gelar pahlawan nasional memang selalu menjadi perdebatan pro dan kontra. Apalagi untuk orang seperti Soeharto yang tak bisa hanya dilihat dari sisi formalitas pemerintah ataupun kroninya. Selain sejarah yang belum tuntas, menurut Sulistyomo, putra Bung Tomo, aktor perjuangan serangan 10 November 1948 di Surabaya, kejahatan Soeharto juga tak bisa dihapuskan. Apalagi, Bung Tomo sendiri yang sudah diajukan sebagai pahlawan nasional sejak 1982 – 1983 oleh pemerintah daerah dan DPRD Jawa Timur tak kunjung mendapat pengakuan.
Sebelum meninggal, ia tersandung tindak pidana korupsi yang merugikan negara triliunan rupiah. Ia juga tersangkut kasus pelanggaran HAM dari penahanan sewenang-wenang di Pulau Buru, penembakan misterius, kasus 27 Juli 1996, pelaksanaan Daerah Operasi Militer (DOM) di Aceh, Tanjung Priok, penculikan orang secara paksa, dan penyerobotan tanah pertanian .
Selain itu, sebutan sebagai “bapak pembangunan” juga kembali dipertanyakan karena pada masa kepemimpinannya justru kemandirian Indonesia dibuang jauh-jauh. Perekonomian Indonesia bahkan menjadi sebuah perekonomian yang tergantung. Pembukaan industri raksasa selalu hanya menguntungkan segelintir elite yang menjadi kroni-kroninya. Adapun rakyat hanya mendapatkan remah-remah keuntungan dari penjualan sumber daya dalam negeri besar-besaran kepada asing. Apalagi, apa yang telah dilakukan Soeharto tersebut tetap menjadi beban bagi generasi muda masa kini bahkan mungkin masa depan karena warisan utang yang menggunung.

Belum Diakui
Beruntung Bung Tomo akhirnya pemerintah menganugerahkan gelar pahlawan nasional. Lewat sebuah Keputusan Presiden (Keppres), Susilo Bambang Yudhoyono mengangkat Bung Tomo menjadi pahlawan nasional. Tetapi, jika mau dicermati hingga kini masih banyak pahlawan-pahlawan yang belum mendapat pengakuan. Seperti Tan Malaka yang sudah jelas-jelas diangkat menjadi Pahlawan Nasional pada 1963 oleh Bung Karno. Kuburannya pun malah tanpa nisan. Begitu pula mantan Perdana Menteri Amir Sjarifuddin.
Bagaimanapun juga ke depan masalah gelar pahlawan nasional tetap akan menjadi persoalan jika ada sejarah yang selalu dikelamkan.
Padahal, pemikiran mereka kini terbukti mendapat kebenaran. Sebuah pemikiran yang menyebutkan tentang kemandirian Indonesia dan siapa musuh Indonesia yang sebenarnya, imperialisme.

LIPUTAN KHUSUS Oleh : TUTU HERLINA (www.sinarharapan.co.id)
Sumber :

Tidak ada komentar: