Selasa, 09 Juni 2020

BERSEMBUNYI DARI CORONA

Sebagai renungan di masa pandemik covid-19 ini, tulisan Cak Nun ini cukup menginspirasi buatku, dan semoga buat kita semua, untuk itu yok kita baca dengan cermat dan ambil hikmahnya, semoga manfaat

Bersembunyi dari Corona

Emha Ainun Najib

Buku saya “Dari Pojok Sejarah” adalah buku hasil “lockdown” atau PSBB swasta yang dipaksakan kepada saya atau saya paksakan sendiri kepada diri saya. Buku itu saya tulis pada tahun 1985 di sebuah “kamar hantu” di Oudemal Straat, Den Haag. Dengan menggunakan mesin tik listrik IBM periode awal-awal. Belum ada Komputer, DOS, Xiwright, WS, disket 264 KB atau disket kecil 1,2 MB. Juga belum ada e-mail, Cellphone atau Gadget kata anak sekarang. Jadi no SMS, no WA, apalagi sampai FB dan IG. Atau Zoom atau sekalian Youtube. Habis ngetik harus di-print out, dijilid sendiri, kemudian dikirim per-Pos ke Indonesia.
Sampai hari ini sangat sering saya mengingat-ingat dan mencoba merekonstruksi bagaimana cara berkomunikasi waktu itu. Bagaimana cara kontaknya dulu sehingga saya sampai ke Gereja Protestan Amstelveen, sampai ke Polda Utrecht yang saya gebrak-gebrak mejanya karena tidak memberi saya izin tinggal. “Dulu Kakek kalian masuk Negara saya tidak kulonuwun, terus ngrampok, saya masuk Belanda dengan uang saya sendiri dan minta izin baik-baik.
Bagaimana caranya kok sebelum Oudemal Straat itu saya punya kost dari Leidsplain ke selatan, mengasuh para gelandangan di Centraal Station Amsterdam, kemudian sambung dengan Pendeta Hoffman dan dikasih satu kamar di Asrama Gereja yang ketika saya datang lagi dengan KiaiKanjeng awal 2000-an Gereja itu sudah menjadi Mal. Bagaimana caranya saya bisa terlibat dalam kontak-kontak untuk mengikuti banyak Seminar, Simposium dan Diskusi, sampai kemudian “mengajar” di ISS (Institute of Social Studies). Kan nggak ada WA atau SMS pun. Saya tetap nulis rutin untuk Kompas dan Tempo entah bagaimana mekanismenya. Saya ikut jamaah di Masjidnya Kiai Ghazali temannya Gus Dur. Saya hapal barang-barang apa yang baru di Pasar Loak dua stasiun sebelum Centraal. Saya tinggal di rumah “bobolan” (karena lebih dua minggu tidak ada lampu menyala) dengan gelandangan Amerika Charles McGeehan, Umbu-nya Amsterdam, yang rajin menerjemahkan puisi-puisi saya ke Bahasa Belanda dan Inggris. Saya ngamen dengan pemain perkusi Afrika Zapa Yauw ke banyak Gallery dan pusat-pusat kesenian. Saya belajar nglinting rokok “Van Nelle” atau “Jongen van Java” Halfzwaar kepada teman Rotterdam yang fasih nglinting rokok sambil nyetir.
Tapi setelah itu ketika permanen sewa kamar hantu di Den Haag, malah “lockdown” beberapa bulan. Aturan yang memaksa saya “lockdown” adalah kondisi keuangan saya. Mau keluar ke mana? Ke Warung atau Restoran Mbah-nya siapa. Ke Toko atau Mal beli “dengkul” apa “bathuk”mu. Thilang-thileng, kethap-kethip di kamar hantu sendirian. Ada hari-hari tidak mampu menulis apa pun karena pikiran ambyar. Nonton TV nggak bisa menyerap. Nonton film ke bioskop karcisnya minta Wak Jan adanya di Menturo. Ke dapur ngliwet, nyeplok, ndadar, ngliwet, nyeplok, ndadar for all seasons. Di luar suhunya dingin meremas tulang daging membunuh daya hidup. Di dalam kamar tak kebagian pemanas.
Andaikan hidup di sel penjara masih lumayan karena ada jam-jam dikasih makan dan banyak teman meskipun harus punya aji-aji Lembu Sekilan untuk menghindari bahaya homoseksualitas dll. Kalau pada 1985 itu muncul Corona dan Belanda malakukan “lockdown”, tidak ada bedanya bagi saya. Sekarang orang sedunia digembok hidupnya di dalam rumahnya masing-masing, dan sesekali saya tersenyum karena di masa muda saya dulu pernah mengalami siang malam gembokan secara lebih ketat dan dahsyat.
Ketika itu saya bisa bertahan karena di dalam memori pengetahuan saya belum ada opsi bahwa orang bisa hidup dalam Gua tapi bisa interneting, browsing, youtubing, kontak siapa saja sedunia pakai SMS, Line atau WA atau e-mail. Bisa lihat dunia sebelah mana saja dan peristiwa apa saja dari telepon genggam. Artinya, kalau sekarang saya disuruh mengalami 1985 itu lagi di luar negeri, mending saya belajar ilmunya Maling Cluring yang bisa berpindah tempat melalui cahaya.
Apalagi antar-Negara, selain melalui surat Pos yang membutuhkan waktu berminggu-minggu. Satu-satunya yang saya ingat adalah “mbobol” telepon umum, bersama komunitas Refugees dan gelandangan di Belanda: hanya dengan koin 1-2 Gulden, kemudian kode-kode tertentu bisa sambung ke Yogya gratis selama mau kita, 1 atau 2 jam. Tapi itu kejar-kejaran dengan Polisi. Dua minggu sekali dioperasi, ketahuan kodenya, kemudian kami nge-crack lagi. Dan begitu seterusnya.
Di rumah PBB Oudemal Straat itu ada telepon umum, tapi mustahil saya dan kami semua mampu interlokal ke Indonesia. Untuk membaca koran Nasional Indonesia atau Majalah mingguan, paling cepat menunggu satu minggu dari tanggal terbitnya. Itu pun royokan di kampus saya; ISS (Institute of Social Studies) yang saya secara ajaib menjadi Pengajar “Culture & Development” dan “Religion & Development” dengan metode embrional Maiyah.
Ketersediaan teknologi yang belum advanced ketika itu merupakan “lockdown” tersendiri. Sabrang dengan Ibunya di Yogya belum tentu bisa makan sehari-hari. Politik Orde Baru membuat sejumlah masalah kepada saya pribadi. Sehabis saya menyelesaikan tugas di “Rotterdam Poetry International”, sebelum saya di ISS, keuangan sehari-hari saya tidak jelas. Ada semacam beasiswa tetapi dua bulan pertama tidak turun. Saat-saat itulah “lockdown” saya menghimpit sedemikian rupa.
Saya menyewa kamar pojok bawah yang tidak kebagian alat pemanas, sehingga siang malam saya pakai mantel dan kerudung seperti Imam Khamenei kesasar, saking dinginnya. Harga normal sewa kamar di rumah itu 350 Gulden, kamar yang saya pilih hanya 175 Gulden berhubung keterbatasan keuangan saya. Belum pernah ada penghuni kamar saya itu dulu-dulu yang tidak kabur, stres berat atau gila, atau bercerai suami-istri. Justru karena itu disewakan sangat murah, dan bagi saya itu “yarzuqhu min haitsu la yahtasib”: Allah menganugerahkan rezeki tak terduga.
Jadi, sesungguhnya apa gerangan yang sekarang hari-hari ini kita takuti? Apakah kita semua ini sedang mengkerut takut kepada virus Corona? Bisa ya, bisa tidak. Yang pasti kita takuti adalah adzab Tuhan. Kalau Coronavirus adalah Coronavirus itu sendirian sih, ayolah sini. Iblis, Dajjal, Setan, Ya’juj Ma’juj, semua monster-monster serem, ayo reneo, rinio. Tetapi kalau Covid-19 adalah taburan dari adzab Allah, itu baru perkara.
Dan mereka takut kepada Tuhannya dan takut kepada hisab yang buruk.” (Ar-Ra’d).
Kita menjalani hidup antara lain untuk mempelajari apa yang kita terima dan apa yang kita tolak. Apa yang kita berani dan apa yang kita takut. Nabi Ibrahim As dan Kanjeng Nabi Muhammad Saw ditawari Malaikat untuk menghancurkan musuh yang membakar beliau dan melempari batu serta meluncurkan anak panah sehingga menyerempet leher kiri beliau. Kedua manusia yang paling dekat kepada Allah itu, Khalilullah dan Habibullah, menolak tawaran Malaikat meskipun itu untuk membelanya. Jawaban beliau berdua sama: “Kalau apa yang engkau kemukakan itu adalah perintah Allah, maka lakukanlah. Tetapi kalau yang engkau tawarkan itu berasal dari dirimu sendiri, terima kasih, jangan lakukan, biarkan saya mengalami apa pun saja yang Allah izinkan untuk aku alami”.
Dengan prinsip yang sama meskipun dengan logika kasus yang terbalik, kita ngeri kalau Coronavirus ini adalah hukuman Allah, bukan sekadar ujian atau peringatan. Kalau peringatan, kita tingkatkan kehati-hatian dan kewaspadaan. Kalau ujian, kita tingkatkan disiplin dan kesungguhan. Tapi kalau hukuman, balasan atau adzab Allah, Jamaah Maiyah dan kita memperdalam rasa dosa kepada Allah, kita hitung, kita petakan dan muhasabahi kesalahan-kesalahan kita, kemudian memohon ampun, bertobat dan bersumpah tidak mengulanginya lagi.
Andaikan Corona tidak datang menjadi saudara bungsu makhluk-makhluk Allah di Bumi, apakah kita terbebas dari kemungkinan sakit dan mati? “Aina ma takunu”.
Sekarang semua Negara di Bumi mengatur cara bersembunyi dari sebaran Corona. Yang paling nyata adalah perilaku manusia dalam Peradaban yang dijalankannya adalah “bersembunyi dari Allah”, Dan semua penghuni langit mentertawakan manusia. Mereka tahu bahwa mereka tidak mungkin bisa bersembunyi dari pengetahuan Allah, tetapi tetap saja mereka berusaha untuk bersembunyi dari Allah. Minimal menipu diri mereka sendiri dengan menganggap seolah-olah Allah tidak mengetahui apa yang mereka sembunyikan.
Tidakkah kamu perhatikan, bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi? Tiada pembicaraan rahasia antara tiga orang, melainkan Dialah keempatnya. Dan tiada (pembicaraan antara) lima orang, melainkan Dialah keenamnya. Dan tiada (pula) pembicaraan antara jumlah yang kurang dari itu atau lebih banyak, melainkan Dia berada bersama mereka di mana pun mereka berada. Kemudian Dia akan memberitahukan kepada mereka pada hari kiamat apa yang telah mereka kerjakan. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui segala sesuatu.” (Al-Mujadilah). *****

Sumber :  https://www.caknun.com/2020/bersembunyi-dari-corona/

Tidak ada komentar: