"Artikel ini sangat baik buat pelajaran bagiku dan mungkin buat pembaca blog ini untuk itu kuposting disini dengan bersumber dari suaramuslim.net"
Pasangan suami dan istri terkadang memiliki budaya keluarga yang berbeda. Sehingga cara berkomunikasi pun berbeda. Konflik yang terjadi seringkali pasangan tidak mampu melakukan penyesuaian diri sehingga komunikasi rentan akan kesalahpahaman.
Hal penting lainnya adalah
cara memandang dan menilai pasangan. Suami terlalu cepat menilai negatif
istri atau pun sebaliknya. Maka hendaknya selalu berpikir positif.
Melihat hal kebaikan dan sisi kelebihan dari pasangan bukan mencari cari
kesalahan, kelemahan, kekurangan dan hal-hal negatif dari pasangan.
Nah, kita bisa mengambil sisi positif pasangan dengan belajar dari
keluarga Umar bin Khattab.
Kita semua tahu, Umar mendapat gelar dari Rasulullah sebagai Al-Faruq
yaitu sosok yang bisa membedakan mana yang haq dan mana yang batil.
Umar ini merupakan karakter yang khas; berwibawa, tegas, memiliki
keberanian, dan sangat hati-hati.
Kita tahu sosok Umar memiliki
postur tubuh yang tinggi dan besar. Kelebihan beliau ini ialah, jika
berkata pasti didengarkan, jika berjalan pasti cepat, dan jika memukul
pasti mematikan. Masyaallah.
Sosok yang luar biasa dan Rasulullah
menyebutkan bahwa beliau adalah sosok ahli surga. Jadi ini alasan saya
ingin membedah kisah Umar bin Khattab, ingin menjadi ahli surga, dan
mendapatkan tiket itu salah satunya yaitu melalui keluarga.
Kita
tentu pernah mendengar dialog seorang sahabat yang pergi ke rumah Umar
ingin mengadukan kecerewetan istrinya, ternyata di rumah Umar sendiri,
sahabat ini mendengar bahwa Umar sedang dicereweti istrinya. Dan sahabat
itu kemudian tidak jadi mengadu ke Umar.
Mitra Muslim cerita itu sangatlah familiar. Tetapi di sini saya ingin menyampaikan bahwa ada peran sosiologis pada kejadian ini.
Jadi,
kondisi muslimah yang ada di Mekkah, kaum Muhajirin ini latar belakang
sosial masyarakat dan budayanya hubungan antara suami istri itu
perempuan cenderung patuh dan mengiyakan.
Kemudian ketika umat
Islam ini hijrah ke Madinah, di Madinah tipikal perempuannya adalah
perempuan yang ceria, terbuka, ekspresif, dan berani menyampaikan
sesuatu kepada siapa pun.
Akhirnya terjadilah adaptasi perempuan
Muhajirin, ketika istri sahabat tadi ikut hijrah, ternyata ikut
terwarnai dengan budaya yang ada di Madinah. Istrinya berubah menjadi
seperti perempuan-perempuan di Madinah. Jauh lebih terbuka, lebih berani
menyampaikan sesuatu.
Sahabat ini mungkin kaget mengapa istrinya
berubah. Umar menyampaikan “Wahai sahabat kenapa saya diam ketika
istriku cerewet bahkan nadanya lebih keras?”
Lalu Umar mengatakan
“Wahai sahabat, saya diam dan membiarkan istri saya bersikap seperti itu
karena dia yang membuat adonan rotiku, dia yang mencuci bajuku, dia
yang menyiapkan makananku, dan dia yang menyusui anakku.”
Nah,
betapa ketika seseorang sedang diuji masalah keluarga, yang dikeluarkan
adalah kebaikan-kebaikkannya. Mengingat kebaikan pasangan, maka itu bisa
meredam hal-hal yang mungkin tadinya ingin mengeluarkan ego.
Itulah
sosok ahli surga Umar bisa mengeluarkan apa-apa yang menjadi kebaikan
istrinya sehingga bisa meredam rasa marahnya dan tidak membalas rasa
direndahkan.
Padahal mungkin bagi sebagian masyarakat Indonesia,
seperti memasak, mencuci adalah pekerjaan perempuan. Sementara ahli
surga memandang bahwa apapun kebaikan yang telah dilakukan oleh pasangan
itu adalah sesuatu yang baik.
Kita harusnya ketika disuruh
membuat list kebaikan pasangan, yang ditulis yang bersifat global. Suami
menafkahi itu tidak ada yang menulis, istri memasak tidak ada yang
menulis. Padahal yang harus kita syukuri adalah suami menafkahi kita,
istri memasakkan, itu semua kebaikan yang luar biasa. Itu yang harus
kita syukuri. Seperti Umar yang mengatakan istrinya telah membuatkan
roti, mencucikan pakaiannya, dan menyusui anaknya. Begitu Umar
memuliakan wanita. Masyaallah.
Artikel ini dikutip dari siaran
Program Mozaik Radio Suara Muslim Surabaya 93.8 FM pada hari Rabu, 26
Februari 2020 pukul 13.00-14.00 bersama Bunda Kurniati Laila, S.Pd. –
Pegiat Siroh, Pemerhati Perempuan, Anak dan Keluarga Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar